JAKARTA – WARTA BOGOR – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa fenomena akan terjadinya La Nina di Indonesia semakin jelas. BMKG pun mengimbau agar masyarakat untuk waspada terhadap dampaknya.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengungkapkan pihaknya saat ini telah mendeteksi adanya peluang terjadinya La Nina di Indonesia.
“Akhir oktober kita bisa memastikan apakah itu La Nina. Namun, alangkah baiknya mulai saat ini kita perlu bersiap karena di pertengahan Oktober telah terdeteksi perbedaan suhu muka air laut di Samudra Pasifik bagian ekuator tengah timur itu sudah lebih dingin dari normalnya,” ujar Dwikorita dilansir dari video di akun resminya, Senin (4/11/2024).
Sementara itu, berdasarkan informasi dari situs resmi BMKG hasil monitoring indeks IOD dan ENSO Dasarian III Oktober 2024 menunjukkan indeks IOD yang melewati batas ambang Netral dengan indeks -0.67 (La Nina Lemah) dan telah berlangsung selama 2 dasarian.
Kemudian IOD Netral diprediksi berlangsung mulai bulan November 2024 hingga awal tahun 2025 sementara La Nina Lemah diprediksi berlangsung hingga periode Februari-Maret-April 2025.
Pihak BMKG mengungkapkan ketika fenomena La Nina berlangsung sebagian wilayah Indonesia akan mengalami peningkatan curah hujan sebanyak 20 hingga 40 persen pada periode Juni-Juli-Agustus dan September-Oktober-November.
BMKG juga menyebutkan pada periode Desember-Januari-Februari dan Maret-April-Mei sebagian wilayah barat Indonesia mengalami peningkatan intensitas curah hujan karena pengaruh angin monsun.
“Namun demikian, bukan diartikan tidak ada kemarau sama sekali, hanya saja terjadi peningkatan curah hujan dalam periode tersebut sehingga sering kali disebut sebagai kemarau basah,” katanya.
Lantas Apa Itu Fenomena La Nina?
La Nina merupakan fenomena atau kejadian anomali iklim global yang ditandai dengan keadaan suhu permukaan laut (SPL) atau sea surface temperature (SST) di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur yang lebih dingin dibandingkan suhu normalnya.
Berdasarkan penjelasan BMKG kondisi tersebut biasanya diikuti dengan berubahnya pola sirkulasi walker (sirkulasi atmosfer arah timur barat yang terjadi di sekitar ekuator) di atmosfer yang berada di atasnya dan dapat mempengaruhi pola iklim dan cuaca global.
Kemudian kondisi La Nina dapat berulang dalam beberapa tahun sekali dan setiap kejadian dapat bertahan sekitar beberapa bulan hingga dua tahun. Fenomena La Nina juga dikenal sebagai kebalikan dari kondisi El Nino.
Singkatnya fenomena La Nina disebabkan oleh suhu muka laut di suatu wilayah mengalami penurunan sehingga udara terasa lebih dingin dari biasanya. Dampaknya bisa berupa curah hujan yang lebih tinggi dari rata-rata dan berisiko menyebabkan bencana hidrometeorologi.
Dampak dari Fenomena La Nina
Fenomena La Nina juga memiliki dampak-dampak yang harus diwaspadai oleh masyarakat terlebih bagi para petani. Berikut beberapa dampak yang bisa terjadi dari fenomena La Nina:
- Banjir dan tanah longsor
Dampak utama fenomena La Nina adalah risiko bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Kondisi tersebut bisa terjadi karena adanya curah hujan yang tinggi dan di berbagai wilayah berisiko banjir dan tanah longsor.
Bagi para petani banjir bisa berdampak pada lahan pertanian dan merusak tanaman sehingga petani mengalami kerugian. Selain itu, tanah longsor juga jadi ancaman serius terutama di daerah dengan lereng yang curam.
- Kerusakan tanaman dan produksi pertanian
Curah hujan yang berlebihan akibat fenomena La Nina bisa berakibat kerusakan pada tanaman hingga produksi pertanian. Seperti dijelaskan sebelumnya air yang berlebihan dapat membuat banjir atau menggenangi lahan pertanian.
Air berlebih juga membuat kondisi tanah jadi terlalu basah dan sulit untuk petani melakukan aktivitas pertanian seperti penanaman dan panen. Akibatnya produksi pertanian menurun dan petani mengalami kesulitan.
- Gangguan pasokan dan distribusi
Ketika fenomena La Nina terlalu parah bisa mengganggu pasokan hingga distribusi hasil pertanian. Sebab, banjir dan tanah longsor dapat merusak infrastruktur jalan dan transportasi yang menghambat akses petani untuk mengirimkan hasil panen ke pasar atau pabrik pengolahan.
- Penyakit tanaman dan hama
Fenomena ini juga berisiko atau berdampak dengan munculnya penyakit tanaman hingga hama. Sebab curah hujan yang tinggi dan lingkungan yang lembap dapat menciptakan kondisi yang ideal bagi perkembangan penyakit tanaman dan penyebaran hama pertanian.
Bagi para petani hama seperti ulat, keong mas, hingga wereng bisa berkembang biak dengan pesat dalam kondisi lingkungan yang lembap. Alhasil berisiko mengancam hasil panen petani dan mempengaruhi kualitas produk pertanian.
Sumber: Liputan6